Cerita Dewasa Belanja Cari Istri

Cerita Dewasa Belanja Cari Istri

Cerita Dewasa Belanja Cari Istri

Cerita Dewasa kali ini menceritakan tentang kisah Cerita Dewasa Belanja Cari Istri , cerita ini merupakan kisah nyata yang di alamin oleh salah satu penulis cerita yang di tuangkan menjadi sebuah cerita sex yang membuat nafsu gitu mengebu ngebu. Silahkan di simak langsung Cerita 17+ kali ini :

Cerita Dewasa Belanja Cari Istri - Seorang temanku yang punya jabatan cukup tinggi, mengeluh bahwa nafsu sexnya tidak terlampiaskan oleh seorang istrinya. Padahal menurut dia istrinya cukup mampu mengimbangi permintaannya. 

Namun jika sedang halangan, dia tidak bisa mendapat layanan tempat tidur.Dia mengaku tidak berani main dengan perempuan bayaran. 

Aku bisa mengerti, karena dia adalah termasuk petinggi partai yang berbasis agama. Dulu sebelum dia menjadi apa-apa, kami sering jalan ke panti pijat, bahkan dia juga punya langganan di panti pijat yang mempunyai service body massage, atau dipijat oleh tubuh cewek.

Sikapnya berubah total sejak dia terdeteksi mengidap kanker. Meskipun baru stadium awal, dia takut setengah mati. Berobatlah di ke Singapura selama 6 bulan bolak balik, yang akhirnya sembuh dan dinyatakan bersih dari penyakit kanker. Penyakit itu dianggapnya sebagai teguran agar dia meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiat.

Setelah setahun stop sama sekali berhubungan dengan perempuan selain istrinya, muncullah keluhannya soal nafsu sexnya yang terasa terlalu tinggi. 

Meskipun usianya sudah mendekati 50 tahun. Dia berfikir untuk punya istri satu lagi. Istri kedua yang dikawini sah secara agama, tetapi tidak dicatatkan ke catatan sipil. Istri itu pun tentunya akan disembunyikan dari istri pertamanya.

Dia resah mencari sosok yang pantas dijadikan istri. Yang dijumpai selalu perempuan yang hanya ingin harta saja. Aku dimintai bantuan untuk mencarikan perempuan yang ideal dijadikan istri kedua. Aku sanggupi saja dengan menjanjikan akan membantunya. Padahal pada saat itu, tidak terbayang seorang pun perempuan yang layak disodorkan untuk temanku.

Mungkin sudah jalannya, sehingga aku kemudian menemukan akses yang aku sebut akses menakjubkan. Ini juga bukan direncanakan. Perjumpaan secara kebetulan dengan kawan lama, itulah yang kemudian memberi akses. 

Aku kebetulan saja berpapasan dengan dia ketika sedang jalan di Plaza Senayan. Kami lalu berbual-bual mengenai banyak hal sampai berhenti pada satu topik yang menarik. Dia menawariku untuk kawin kontrak. Dia mengaku punya 1 istri yang dikontrak. Kawinnya secara agama adalah sah, karena disebut kawin siri, tapi tidak tercatat di catatan sipil.

Seketika itu juga rasanya aku ingin menelepon temanku yang kebelet punya istri lagi. Tapi aku tahan, karena aku harus membuktikan kebenaran informasi dari teman lamaku ini. Banyak kabar lebih indah dari rupa.

Temanku yang sebutlah namanya Budi, mengatakan ada satu daerah di dekat Sukabumi, yang sudah lazim menerima kawin kontrak. Di daerah itu banyak sekali wanita-wanita cantik. Dia lalu menyebut salah satu nama artis penyanyi yang berasal dari Sukabumi.

“ Kalau yang model kayak gitu banyak,” katanya.

Aku mengorek semua informasi mengenai kawin kontrak itu. Sebelumnya aku sudah mengetahui soal kawin kontrak oleh turis-turis Arab di Puncak. Tapi aku survey, ceweknya kurang memenuhi syarat, alias banyak yang kurang cantik.

Menurut Budi, sangat mudah kawin kontrak di Sukabumi, Tinggal kunjungi daerah itu, lalu pilih perempuan mana yang cocok bayar biaya perkawinannya termasuk maharnya Rp 20 juta. Setelah itu setiap bulan memberi uang belanja 5 juta. 

Perempuannya boleh di bawa ke Jakarta, atau tetap tinggal di kampungnya. Masa kontrak biasanya 1 tahun. Jika perempuannya sudah pernah kawin atau janda biaya maharnya hanya 10 juta. Meskipun janda, tetapi mereka umumnya masih muda, kata Budi.

Untuk membuktikan kebenaran bualan Budi itu aku lalu membuat janji bersama-sama ke Sukabumi. Pada hari yang dijanjikan Aku dan Budi pagi-pagi sekali hari Sabtu sudah memacu kendaraan ke arah Sukabumi.

Budi menjadi penunjuk jalan. Dari jalan raya, mobil kami masuk ke kampung yang letaknya sekitar 3 km ke dalam. Tidak ada yang istimewa tampaknya, biasa seperti kampung-kampung yang lain. Budi berhenti di salah satu rumah, yang rupanya itu adalah rumah salah satu istri mudanya. Dia disambut hangat, bahkan istrinya mencium tangannya. Aku sempat shock juga melihat istri muda Budi, cantiknya diluar dugaanku, masih muda, putih pula.

Tidak lama kami ngopi datang seorang pria paruh baya. Dia memperkenalkan dirinya, Asep, umurnya sekitar 50 tahun. Haris kemarin ternyata sudah mengontak Kang Asep untuk mencarikan perempuan yang layak dijadikan istri.

Tanpa rikuh Asep menunjukkan foto-foto yang tersimpan di HP nya kepada Budi. Si Asep menjelaskan profil satu persatu foto-foto itu. Aku ikut nimbrung nonton foto-foto di HP nya Asep. Ada yang janda, ada yang masih perawan. Kelihatannya Asep sangat menguasai informasi koleksinya.

Aku yang semula tidak berfikir soal kawin kontrak tergoda juga setelah melihat foto-foto itu. Aku lalu berfikir, sekali seminggu ke Sukabumi rasanya tidak terlalu berat. Apalagi biaya rumah tangganya hanya Rp 5 juta per bulan. Aku kepincut dengan salah satu foto yang disebut Asep statusnya janda dari kawin siri. Jika dilihat dari fotonya cewek pilihanku itu cantik banget, kayak bintang film.

Aku ingin melihat fisiknya sebelum nanti memutuskan melakukan kawin kontrak. Asep lalu mengontak cewek yang namanya Ning. Tidak sampai 1 jam muncul sebuah motor bebek dengan pengendaranya seorang cewek. Dia datang sendiri dan masuk tidak lupa mengucapkan salam. Tangan kami masing-masing diciumnya, seperti kami ini Kyai.

Bodynya lumayan montok, wajahnya cantik, umurnya baru 20 tahun, statusnya janda sudah setengah tahun. Pilihanku sudah mantap dan aku putuskan akan mengawininya. Persoalannya adalah aku tidak membawa uang cash 10 juta. Kampung ini jauh pula dari ATM. Si Ning rupanya menangkap kesulitanku, dia menawarkan E-banking aja, karena dia juga punya rekening yang sudah di set E-banking.

Tidak kusangka dan tidak kuduga, bahwa di pelosok kampung ini penduduknya sudah mengenal E-banking. Aku mentransfer dengan melebihkan 2 juta, jadi aku mentransfer 17 juta. Tidak lama kemudian HP si Ning berbunyi dan dia mengatakan transferanku sudah masuk.

Tidak pakai basa-basi si Ning, lalu dia mengajakku di bonceng pulang ke rumahnya. Rumahnya tidak terlalu mentereng, tetapi lumayan rapi dan bersih. Halaman di depannya tidak terlalu luas. Aku diperkenalkan dengan ayah dan ibunya. Dia anak tertua, adiknya ada 2 orang.

Sesungguhnya aku agak canggung, karena baru kenal. Aku pikir apakah mungkin aku ngamar setelah proses akad nikah nanti. Ah pasrah saja, aku berbasa-basi dengan kedua orang tuanya.. Ning berganti pakaian dengan pakaian berjilbab. Setelah itu ayahnya menanyakan kepadaku apakah aku siap, aku katakan siap. Tidak lama muncul seorang bapak, yang dikenalkan sebagai uwak si Ning. Dia akan menjadi saksi. Tanpa proses macam-macam, ritual nikah pun dimulai. Aku dipinjami peci. Ayahnya menjabat tanganku, lalu mengatakan

“ Aku nikahkan anakku …………” aku langsung menjawab saya terima nikahnya dengan maskawin 10 juta rupiah.

“ Sah” kata si uwak.

Selesai sudah, aku resmi menjadi suami si Ning. Aku kontak si Budi, menceritakan bahwa aku sudah punya istri baru, dia tertawa, lalu berjanjikan pulang sehabis maghrib saja, sebab jalanan agak kosong. Tidak ada pesta tidak makan yang istimewa. Aku di ajak makan dengan lauk, ikan mas goreng, sambal, lalapan dan sayur asem serta tahu tempe goreng. Aku memang lapar jadi rasanya nikmat sekali.

Aku menjelaskan bahwa untuk sementara si Ning tinggal saja di sini. Apakah nanti akan aku boyong ke Jakarta atau bagaimana, keputusannya menyusul. Ayahnya tidak keberatan. Perut kenyang , kopi secangkir lagi sudah habis, dan mata mulai mengantuk. Gejala itu ditangkap oleh ayah si Ning.

“ Mari silakan istrirahat dulu. Aku bingung mau istriahat dimana, Ning menarikku ke arah salah satu kamar, yang ternyata adalah kamarnya.

Sebuah kamar yang tidak terlalu besar, tetapi ada spring bed ukuran mungkin 160 cm, ada TV LCD meski ukurannya kecil, ada perangkat meja solek dan sebuah kursi. Kami berdua duduk di bed. Si Ning menawarkan apakah aku mau buang air kecil dulu, karena kamar mandinya di belakang rumah. Aku setuju, karena rasanya agak sesak kencing juga.

Sekembali ke kamar, si Ning sudah berganti dengan daster. Kamarnya tidak ada AC, tetapi karena udara di kampung ini sejuk jadi tidak terasa gerah. Ning membuka pakaian ku satu persatu dan menggantungnya di balik pintu. Tinggal celana dalam, itu pun dilepasnya.

K0ntolku belum ngaceng sempurna, karena masih grogi dengan perubahan hidupku yang demikian drastis. Si Ning juga menelanjangi dirinya dan menghidupkan TV dengan suara agak keras. Dia menarikku untuk berbaring.

Rasanya sulit untuk menyia-nyiakan hidangan yang siap saji di depan mata. Aku memeluk tubuh Ning. Teteknya masih sangat kenyal dan belum terlihat sedikitpun turun. Pentilnya kecil, belum berkembang, menandakan dia belum pernah hamil. Jembutnya jarang, bahkan nyaris gundul. Tangan Ning menggenggam k0ntolku dan dikocok-kocoknya pelan.

Aku bangkit dan menciumi lehernya, lalu turun menjilati dan mengigit pelan kedua pentil teteknya bergantian. Sementara itu tanganku merabai bukit pukinya yang lumayan mentul. Jari tengah mengorek belahan mekinya. Aku menguit-nguit itilnya sampai kemudian celah mekinya mulai berlendir.

Setelah puas menciumi tetek, aku beralih, ke arah mekinya, Aku menciumi mekinya. Si Ning menahanku dan berusaha menarik tubuhku ke atas, Malu, katanya .

Aku tetap bertahan dan lidahku langsung menjilati belahan mekinya dan Ning menggelinjang. Dia tetap berusaha menarikku keatas. Tetapi tenaganya mulai melemah setelah lidahku menemukan itilnya. 

Pinggulnya bergerak-gerak gak karuan, katanya geli, tapi dia mendesis juga. Aku tetap bertahan menjilati itilnya yang terasa sudah mulai menonjol. Jika tadi tangannya berusaha menarik kepalaku menjauh dari mekinya sekarang malah menjambaki dan menekan kepalaku agar lebih lekat dengan mekinya. 

Ning mengerang dan entah apa yang diucapkan dalam bahasa Sunda. Mungkin sekitar 10 menit dia lalu mencapai orgasmenya dengan oral di mekinya. Si Ning berteriak lirih sambil terus mengerang juga sampai orgasmenya selesai.

Dioral merupakan pengalaman pertama baginya. Suaminya yang dulu sudah tua, tidak pernah mengoralnya. K0ntolku yang telah tegak sempurna kuarahkan memasuki gerbang kenikmatan. Perlahan-lahan k0ntolku menerobos celah meki yang sudah setengah tahun tidak pernah diterobos, jadi rasanya sempit juga.

Ning mengeluh mekinya agak sakit, aku dimintanya pelan-pelan. Aku turuti sampai k0ntolku ambles semuanya. Setelah mentok maka aku memompa perlahan-lahan. Si Ning mendesis-desis. Dia hanya menggelengkan kepala ketika kutanya apakah masih sakit. situs judi online

Aku tidak mampu bertahan lama sekitar 10 menit sudah tepancut spermaku masuk di dalam mekinya. Nikmat sekali rasanya menjadi pengantin baru. Ning dengan sabar membersihkan bekas sperma di batang k0ntolku dan dia pun membersihkan lelehan sperma di mekinya dengan tissu.

Aku berbaring kelelahan. Ning mendampingiku. Aku tertidur, karena sejak sehabis makan siang tadi aku sudah agak ngantuk. Mungkin sekitar satu jam tertidur, aku dibangunkan oleh kocokan tangan si Ning di k0ntolku. Dia lalu mengoral k0ntolku sampai jadi tegang kembali. Ning berinisiatif menaiki tubuhku dan memasukkan k0ntolku ke dalam vaginanya. Sambil jongkok digenjotnya k0ntolku. 

Capek jongkok dia bersimpuh dan bergerak maju mundur. Nikmat sekali dan kami main cukup lama. Ning sempat mendapat orgasme sekali baru aku menyusul.

Aku benar-benar lelah. Setelah istirahat sebentar, Ning mengajakku ke kamar mandi. Aku dikasinya sarung dan atasannya aku mengenakan kaus oblong yang kupakai tadi. Sementara itu Ning hanya berkemben handuk yang menutupi sebagian tetek montoknya dan sedikit di bawah mekinya. Aku agak canggung juga keluar dengan Ning yang hanya mengenakan handuk, tetapi karena ini rumah dia, maka mungkin kebiasaan disini memang begitu. 

Aku digandengnya ke kamar mandi di belakang lalu berdua kami mandi. Airnya dingin sekali. Sesungguhnya aku hampir-hampir tidak kuat, tetapi gengsi juga karena si Ning malah mandi junub dan keramas rambutnya. Aku pun mengikuti mandi junub dengan air yang dinginnya luar biasa. Tapi lama-lama airnya terasa hangat.

Setelah selesai Ning kembali mengenakan kemben handuk dan aku juga kembali bersarung masuk kekamarnya. Aku berpakaian kembali dan Ning mengenakan celana jeans dan kaus tank top merah. Secangkir kopi dan singkong dan pisang goreng sudah tersedia di meja.

Jujur saja aku kikuk ngobrol dengan mertuaku yang laki dan yang perempuan. Tapi mereka terlihat wajar-wajar saja sehingga aku pun jadi akrab. Si Ning duduk di sampingku sambil terus-terusan ngelendot. Ini sebenarnya membuatku risih karena rasanya kurang sopan bergelendot di depan orang tuanya. Tapi mungkin di sini sudah jamak yang aku ikuti saja adat mereka. Hari mulai gelap dan tidak lama kemudian Budi sudah meneleponku.

Aku kembali diantar Ning dengan sepeda motor ke rumah istri Budi. Di sana ada pak Asep. Kami ngobrol lagi. Tidak lama kemudian Ning pamit pulang. Aku membujuk Pak Asep untuk mentransfer koleksi foto-foto cewek-cewek yang siap dinikahi. Dia dengan senang hati mentransfer melalui fasilitas bluetooth, bahkan dia berjanji mengirim foto-foto lainnya jika ada yang baru.
Dalam perjalanan pulang aku berdua Budi hanya senyum senyum saja. Dia berencana menambah istri kalau proyeknya kelak goal.

Temanku yang sedang galau ingin punya istri muda, kukontak. Aku mengatakan, ada informasi A-1. Dia tertawa terbahak-bahak, kayak intelijen saja pakai istilah A-1. Kami lalu janjian ketemu di satu cafe setelah jam kerja. Sampai pertemuan itu, aku tidak menyebut bocoran soal yang aku sebut A-1.

Dia masih under-estimate mengenai A-1 yang kumaksud. Setelah kami tenang duduk berdua dan kopi sudah terhidang, baru aku sebutkan bahwa aku tahu suatu tempat untuk mencari istri muda. Aku sebutkan bahwa para calon istri muda itu rata-rata cantik-cantik dan bersedia diajak kawin sebagai istri muda, bahkan mau dikawin kontrak.

“Ah serius nih, aman gak,” katanya.

Temanku sangat bergairah dan ingin cepat-cepat menuju tempat yang kumaksud. Dia membatalkan semua acara yang seharusnya ada tugas keluar kota pada hari Sabtu, tetapi dia memilih pergi denganku. Saking semangatnya dia sudah pula menyiapkan uang tunai sekitar 30 juta di tasnya. Di rumah dia pamit tugas keluar kota.

Dari foto-foto yang ada di HP ku dia memang naksir sekitar 2-3 orang. Namun yang membuat aku risih, adalah pertanyaannya. Dia mencari istri yang jembutnya lebat. Sejak kami sering plesir bersama, idaman dia adalah wanita yang berjembut lebat dan tidak memiliki tato, sedangkan aku sebaliknya, cari kalau bisa yang masih gundul. Karena selera kami berlawanan maka kami tidak pernah menaksir cewe yang sama.

Kami menggunakan kendaraanku, langsung menuju kediaman istri mudaku, Ning. Di sana sudah ada Pak Asep sang mediator. Aku disambut cium tangan oleh istriku dan salam dari segenap keluarga besarnya.

“ Gila istri lu cakep banget, gua naksir juga,” katanya berbisik.

Pak Asep menginformasikan bahwa pilihan temanku itu sudah keduluan diambil orang, tapi masih ada yang baru, tapi masih gadis usianya baru 17 tahun. Temanku agak tertarik, tetapi dia kurang minat karena ceweknya terlalu muda dan masih perawan pula. Dia cari yang usianya sudah sekitar 25 tahun.

Dalam koleksi gambar koleksi gambar Pak Asep, tidak ada stok yang berusia segitu, yang banyak adalah yang lebih muda dari itu. Pak Asep lalu berpikir sebentar, lalu dia mengontak seseorang, kayaknya sesama Kibus (kaki busuk, atau perantara). 

Info yang didapat Pak Asep ada 2 orang, tapi umurnya gak sampai 25, yang pertama namanya Desi usianya 23 baru sekali kawin, dan bukan kawin kontrak, belum punya anak. Yang satu lagi Sufti umurnya 24, juga janda belum punya anak. Keduanya kata temen Pak Asep, cantik-cantik. Temanku belum yakin sebelum melihat fotonya.

Sedang kami sibuk mencari calon istri untuk temanku, Si Ning nyeletuk bahwa dia ada tetehnya, kakak sepupu tapi belum pernah kawin. Si Ning belum yakin jika tetehnya mau dikawin, karena dia baru lulus perguruan tinggi di Sukabumi. Kebetulan rumahnya tidak jauh. Dia lalu menyuruh adiknya untuk memanggil si teteh itu. Tidak sampai setengah jam muncul suara salam dari luar suara yang halus. 

Kami semua menoleh ke pintu. Si Ning berdiri dan berteriak eh teteh, masuk teteh. Aku berdua temanku sempat nganga. Teteh si Ning tubuhnya tinggi, bodynya proporsional, mukanya itu lho cantik sekali dan pakai jilbab. Kami berdua diperkenalkan, tapi salaman nya tidak menyentuh, jarak jauh aja.

Dia memperkenalkan namanya Nabila. Kami tidak sempat ngobrol, karena dia langsung masuk ke dalam. Temanku langsung jatuh hati pada pandangan pertama. Aku menggoda temanku,

“Perlu ditanya gak jembutnya tebal.”

Temanku menyikut pelan.

“Gua tutup mata aja langsung oke kalau memang dia mau.”

Ning ikut masuk dan agak lama mereka ngobrol di dalam. Ning keluar dan langsung duduk disebelahku. Menurut Ning, tetehnya mau jadi istri muda temanku, tapi dia tidak mau tinggal dikampung di rumah orang tuanya kalau sudah menikah, boleh di Sukabumi, boleh juga di Jakarta. Syarat berikutnya adalah dia ingin mengirim biaya ke orang tuanya setiap bulan 5 juta, untuk membantu biaya sekolah 3 adiknya dan bagi keperluan rumah tangga orang tuanya. Itu saja syaratnya.

Temanku langsung buru-buru setuju. Namun aku mencegah dia terburu-buru. Aku minta temanku dan calon istrinya itu untuk berbicara 4 mata dulu di dalam. paling tidak untuk saling mengenal lebih jauh, Ning setuju usulanku, Aku dan Ning mengantar temanku masuk ke dalam. Mereka berdua duduk di kursi meja makan, dan kami semua kembali kedepan.

Sekitar satu jam mereka berkomunikasi, kami tidak bisa mendengar, karena ruangan ke belakang dihalangi oleh korden. Nampaknya telah terjadi kesepakatan, Temanku keluar bergandengan tangan dengan calon istrinya. Nabila malah tampak manja mengelendot temanku.

Aku heran, melihat sedemikian cepat negosiasi mereka sampai mencapai kesepakatan. Kursi disediakan untuk mereka duduk berdua berdampingan. Sempat ngobrol sebentar sambil menyeruput sisa kopi. Nabila lalu memberi tahu bahwa mereka akan melakukan akad di rumahnya, kami diminta bersama-sama kerumah dia.

Dengan berjalan kaki seperti rombongan lenong, kami menuju rumah Nabila. Rumahnya sangat sederhana, tidak seimbang dengan kecantikan Nabila. Ayahnya sudah tua dan ibunya juga. Memang menurutku tidak pantas temanku menginap dirumah ini, karena pasti Nabila tidak punya kamar pribadi.

Meja kursi langsung di siapkan. Pertama temanku minta izin ke orang tuanya untuk memperistri Nabila. Orang tuanya tidak banyak bicara hanya berkata setuju saja. Setelah itu dimulailah ritual akad nikah. Yang menikahkan adalah ayah Nabila sendiri dan saksinya adalah mertuaku lakiku dan aku.

“Aku terima nikahnya dengan mas kawin 25 juta rupiah,” kata temanku menjawab perkataan ayah mertuanya.

Aku langsung menyambut Barakallah, sah.

Resmilah keduanya menjadi suami istri. Setelah minum kopi lagi dan makan pisang goreng, sementara si Nabila berkemas, aku dan Ning serta rombongan kembali kerumah awal. Si Nabila langsung diboyong ke Jakarta. Aku pun oleh temanku menyarankan memboyong istri mudaku ke Jakarta sekalian.

Gila prosesnya terlalu cepat, karena semua proses tadi hanya berlangsung sekitar 3 jam. Kami berempat sudah kembali berada di mobil menuju Jakarta. Temanku menunjuk satu hotel yang katanya sudah dia book melalui telepon. Aku sempat menanya ulang tujuan hotel yang dipesan temanku itu, karena hotel itu hotel bintang 5. Dia malah membayariku kamar untuk 2 malam.

Sebulan kemudian aku baru bertemu lagi temanku si pejabat itu. Dia menyewa apartemen yang dekat dengan kantornya. Dia bercerita tentang Nabila, menurut temanku dia tidak salah pilih, karena Nabila, budi pekertinya baik, orangnya cantik dan berpendidikan. 

Kelihatan sekali temanku ini sangat kesengsem sama bini barunya. Aku ingatkan dia agar jangan mengumbar hartanya, untuk menyenangkan bini mudanya. Jalani saja hidup bersama dia dengan cara yang tidak berlebihan, karena dengan demikian urusan jadi tidak terlalu merepotkan.

Setelah setahun aku pun menarik si Ning tinggal di Jakarta, karena aku bosan mondar-mandir Jakarta-Sukabumi. Dia kutempatkan di apartemen studio dengan ukuran yang agak luas di pusat kota.
Baru 3 bulan tinggal di Apartemen, Ning sudah mengeluh tidak kerasan. Dia kesepian jika aku tinggal sendirian. Aku memang jarang nginap di apartemen. Memang konsekuensi ini sudah aku kemukakan sebelumnya.

Ning minta ditemani. Dia mengusulkan aku menambah seorang istri lagi dan dia akan tinggal bersama di apartemen. Aku sempat terhenyak sebentar. Usul itu sangat menarik. Setelah aku kalkulasi aku masih sanggup membiayainya. Aku minta jaminan ke Ning apakah dia tidak akan cemburu, jika aku mempunyai seorang istri lagi. Dia berjanji tidak akan cemburu, malah akan berusaha akur.

Anehnya Ning malah menyodorkan salah seorang saudaranya. Kata dia sudah kontak-kontakan dengan orang tua anak itu dan sudah pula berbicara dengan anaknya. Namanya Retno, umurnya sekitar 24 tahun, lulus S-1. Menurut Ning anaknya sudah mau dan orang tuanya juga setuju. Aku melihat beberapa fotonya di HP si Ning, anaknya lumayan cantik dan imut, kulitnya putih.
Menurut Ning anaknya baik, sopan dan tidak rewel. Mungkin karena aku sungkan, ya aku setuju saja. 

Rencana aku menambah istri kukabarkan ke temanku. Dia lalu buru-buru mengundang ke apartemennya. Jam 7 malam aku datang bersama Ning.

Ah aku lupa memperkenalkan kepada pembaca nama temanku ini. Aku biasa memanggilnya Bud, karena namanya Budi. Aku jadi ada hubungan famili dengan Budi karena istri muda kami bersaudara.
Apartemennya lebih besar dibanding punyaku. Dia kan pejabat berpengaruh, mungkin duit korupsinya banyak. Aku sebenarnya ingin juga punya apartemen yang besar, tetapi tentunya harus dua kamar dan masing-masing kamar ada kamar mandinya. Mana ada apartemen seperti itu.

Dari pada pusing aku beli dua apartemen tipe studio dengan ukuran masing-masing 36 m2. Letaknya bersebelahan. Sayangnya agak sulit membuat connecting door.

Budi dan Nabila menyambut kami, secangkir kopi dan kue-kue sudah dihidangkan. Setelah basa-basi sejenak. Budi menanyakan kembali soal aku akan menambah istri. Aku menjelaskan bahwa keinginan untuk kawin lagi, lebih karena dorongan si Ning.

“ Iya pak saya tinggal sendirian di Apartement gak betah, sepi. Mana saya kan penakut, jadi setiap malam saya rasanya selalu ketakutan,” kata Ning.

“Ya si Ning bener Pak, kalau udah di tinggal sendirian rasanya sepi banget, kayaknya bapak perlu istri satu lagi Pak, tapi harus yang cocok ama saya Pak,” kata Nabila menimpali.

Budi diam saja, aku tidak tahu apakah dia sudah cukup terlampiaskan punya istri dua. Tidak lama kemudian Budi berpendapat,

“ Saya sih ikut saja kalau Nabila maunya punya temen, siapa yang di calonkan saya mah setuju aja lah, yang penting Nabila betah.” kata Budi.

Nabila berlalu ke dapur diikuti Ning. Tinggallah kami berdua. Aku bertanya soal istri barunya apakah baik dan sebagainya.

“Wah top banget, kayaknya mau gua resmi in aja, gua lagi cari cara untuk ngomong ke istri tua,” 
katanya.

“Pikir yang matang, karena you itu pejabat penting, jangan sampai karir terganggu. Soal izin ke istri tua jangan buru-burulah, nanti bisa perang dunia,” kataku.

Seminggu kemudian Budi ingin ngobrol sama aku. Dia janjian di coffee shop salah satu hotel. “wah gawat nih,” katanya tiba-tiba. Aku menduga istri tuanya memergokinya.

“Bukan itu, bos,” katanya

“Yang disodorkan Nabila itu adalah saudaranya sekaligus 2 orang. Mereka memang saudara jauh, gimana nih,” ujar Budi.

Aku penasaran ingin melihat foto kedua calon istri yang disodorkan Nabila. Kelihatannya masih belia dan memang cantik-cantik. “Terus masalahnya apa,” tanyaku.

“Ya aneh aja masak sekali nikah dua orang , jadi istri gua semua empat dong,” katanya.

“Apa soal biaya memberatkan,” tanyaku.

“Kalau itu sih gak masalah, tetapi aku khawatir tidak punya cukup waktu untuk berbagi. Ini aja si Nabila hanya gua tengoki cuma seminggu sekali, lu kan tau bos, gua banyak tugas ke luar kota, keluar negeri.

“Ah jangan hanya dilihat soal sexlah, kita kan sudah cukup umur, yang penting bisa bantu orang dan memperluas kekeluargaan,” kata ku.

“Kalau soal sex sih wanita normal cukup sebulan sekali. Biasanya nafsunya tinggi saat masa subur, itu saja. Kalau bisa dua minggu sekali sudah bagus,” kataku

“Justru kalau soal sex gak masalah bagi gua, setiap orang seminggu sekali pun gua masih kuat, tapi kalau mereka menuntut perhatian atau waktu kebersamaan yang lebih banyak itu, yang gua berat bos,” katanya.

“Kalau soal itu hanya tinggal bagaimana memberi pengertian saja, mereka toh sudah menyadari bahwa istri muda tidak bisa menuntut terlalu banyak. Fokus mereka adalah mengangkat kehidupan keluarganya, agar ada yang membiayai untuk hidup layak, itu saja,” kataku.

“Oh gitu ya, mantaplah kalau gitu,” katanya

Pembicaraan terputus, ketika istri-istri kami datang membawa tambahan hidangan. Aku menanyakan kapan akan ke Sukabumi untuk menambah keluarga.

Kami sepakati sebulan ke depan, karena dalam waktu dekat ini Budi masih banyak acara penting. Aku pun menyesuaikan diri dan berencana akan menambah satu istri lagi bersamaan dengan Budi.
Pada Hari yang ditentukan, kami berangkat dari Jakarta sehabis subuh. Aku dan Budi masing-masing membawa mobil sendiri-sendiri. Di tempat tujuan kami berpisah. Segala segala sesuatu sudah dipersiapkan. Akad nikah pertama adalah istri Budi saudara dekat Nabila bernama Laela. Aku dan Ning menghadiri upacara ritual pernikahan. Laela memang cantik, mengenakan jilbab, tingginya sekitar 155 cm, lebih pendek dari Nabila.

Setelah itu Budi dan istri-istrinya menuju rumah orang tua calon istri baruku. Dia bernama Retno, usianya 23 tahun fresh graduate S-1 Ekonomi. Aku suka dengan mukanya yang ayu, bibir tipis, bodynya yang luar biasa. Teteknya kelihatan besar, bokongnya lebar dan yang menjadi kesenanganku adalah pahanya yang gempal. Tingginya sekitar 160. Kulitnya putih bersih seperti rata-rata orang Sukabumi. Dari sorot matanya aku yakin istri baruku ini cerdas. Retno, statusnya masih perawan, dan memang sesungguhnya dia masih dara.

Setelah ritual perkawinan tuntas, kami segera memboyong dengan rombongan makin besar ke tempat perkawinan kedua Budi. Rumahnya agak jauh masuk lagi lebih jauh sekitar 2 km. Tuan rumah calon istri Budi bingung melihat begitu besar rombongan yang datang. Namun Nabila dan Ning sudah mempersiapkan kue-kue untuk hidangan dari Jakarta. Bukan itu saja berbagai macam lauk juga sudah disiapkan. Tuan rumah hanya perlu memasak nasi lebih banyak saja.

Calon istri Budi yang akan dinikahi ini kelihatannya sudah cukup matang. Usianya 24 tahun, pendidikan S-1 juga, tetapi aku tidak tahu jurusannya. Badannya langsing, tapi teteknya gede juga. Mukanya cantiklah, kalau tidak mana mau si Budi. Statusnya masih perawan.

Selesai ritual pernikahan kami menikmati hidangan yang dibawa dari Jakarta. Hidangan nya jadi sangat kontras, karena rumah istri yang baru dinikahi itu sangat sederhana. Dia adalah Sari saudara jauh Nabila. Masyarakat di kampung-kampung ini menganggap anak perempuan adalah asset yang mahal. Dalam perjalanan kembali aku memperhatikan rumah-rumah yang mentereng atau kelihatannya bagus, adalah rumah mereka-mereka yang menjadi istri kontrakan.

Sesampai di Jakarta, aku tidak langsung belah duren, karena apartemen yang akan ditempati Retno belum disiapkan perabot dan peralatan lainnya. Retno tinggal bersama Ning. Aku memerlukan waktu seminggu sehingga unit apartemen Retno sudah benar-benar layak ditinggali. Kamar-kamar mereka aku disain seperti suite room hotel bintang 5.

Tibalah waktu untuk belah duren, Hari itu adalah hari Jumat. Setelah makan siang aku menuju ke apartemen Retno. Dia sudah menantiku. Aku dihadiahi ciuman ketika dia menyambutku di pintu. Badannya terasa bau harum. Pakaian yang dikenakan adalah daster tipis. Mungkin dia sengaja membeli di mall di bawah apartemen ini. Saking tipisnya aku bisa melihat putting susunya yang tidak dilindungi BH dan belahan pantatnya karena dia tidak mengenakan celana dalam.

Aku langsung terangsang dan k0ntolku mengeras perlahan-lahan. Retno sudah siap betul akan dipecahkan keperawanannya. Dia berpendidikan tinggi, sehingga pemahaman soal hubungan suami istri sudah dia sadari.

Aku duduk di sofa sambil melihat tayangan di televisi. Dari belakang bahuku dipijat. Nikmat sekali pijatannya, apalagi aku baru menembus kemacetan, hari Jumat. Sambil memijat dia membukai kancing bajuku sampai terlepas semua lalu melepas bajuku.

Aku senang dia agresif dan sadar akan perannya. Setelah baju digantung, lalu singletku dilepas melalui atas kepala. Aku sudah telanjang setengah badan. Retno duduk bersimpuh, sepatuku dan kaus kaki dilepas. Lalu maju dengan tetap bersimpuh di antara kedua kakiku dan melepas pengait sabuk lalu resleting celana. Perlahan-lahan celanaku ditariknya ke bawah sampai lepas dan digantungkan di dalam lemari. Celana dalam yang tersisa terlihat menggelembung karena penghuninya sudah berusaha berontak dari kungkungan.

Tanpa ragu celana dalamku juga dilepasnya sehingga k0ntolku langsung mencuat tegak perkasa. Aku tidak memberi kesempatan Retno meletakkan celana dalamku, Tangannya kubimbing untuk meremas k0ntolku. Terasa tangannya agak gemetar. Ini pertanda baik, karena dengan demikian dia belum pernah mengerjakan hal ini sebelumnya. Genggamannya juga masih canggung, karena hanya digenggam oleh ujung-ujung jarinya.

Aku mengajarinya menggengam penuh dan melakukan gerakan mengocok. Birahiku naik, baju tidurnya yang tipis aku lepas sehingga Retno bugil di depanku. Teteknya bulat menantang, dengan puting yang masih kecil. Ini karena dia belum pernah beranak. Jembut di bawahnya masih jarang, aku menengarai memang umumnya wanita sunda kurang banyak memiliki jembut.

Aku senang dengan perempuan yang pro aktif, berani mengambil inisiatif dalam soal sex. Retno kutarik duduk ke pangkuanku dengan posisi berhadapan. Kedua susunya yang kenyal aku remas-remas. Dia merintih seperti menangis. Apalagi ketika pentilnya aku jilati dan aku hisap, rintihannya makin keras dan nafasnya makin memburu.

Kuraba mekinya sudah basah berlendir, berarti organnya sudah siap menerima penetrasi k0ntolku. Aku tidak mau buru-buru, karena ingin menikmati secara bertahap. Retno kududukkan di sofa di sampingku. Lalu aku bangkit dan menciumi kembali teteknya dan menghisap pentilnya. Retno sudah terangsang hebat, sehingga dia tidak sadar jika mulutku sudah menciumi gundukan mekinya.

“ Ayah aku mau diapain, “katanya ketika sadar aku sudah berlutut dan mulutku menjilati belahan mekinya. Dia memanggilku ayah mengikuti si Ning.

Aku tidak sempat berbicara, karena lidahku sudah masuk ke dalam belahan mekinya. Kakinya kukangkangkan lebih lebar, sehingga terlihatlah jelas belahan mekinya yang masih rapat. Kedua tanganku membuka bibir mekinya sehingga, tampak jelas detail mekinya bagian dalam. Aku melihat clitorisnya sudah menonjol berwarna merah muda di lipatan atas mekinya.

Serangan lidahku langsung kutujukan ke titik itu. Retno menggelinjang tidak karuan dan merintih dengan suara khas rintihan perempuan ketika sedang menikmati rangsangan. Pinggulnya bergerak-gerak mengikuti gelombang nikmat yang melanda seluruh tubuhnya. Tidak sampai 5 menit dia berteriak dan menyebutkan ,

” aduh-aduh aduuuuuuh,”

Mekinya berdenyut-denyut berkali-kali dan cairan makin banjir sampai menetes ke bawah. Retno tergolek lemas tidak berdaya. Kutanya apa yang terjadi sampai teriak aduh-aduh. Dia mengatakan baru kali ini merasakan kenikmatan kepuasan sex.

Aku katakan masih ada lagi kenikmatan yang lebih dari ini. Aku yakin dia tadi baru menikmati orgasme clitoris. Jika dia menikmati orgasme vaginal pasti dia akan menjerit,
Sebetulnya aku ingin menggendong dia ke tempat tidur, tetapi terlalu berat, sehingga aku membimbingnya saja dan membaringkan di tempat tidur. Aku langsung menindih badannya dan mengarahkan batang kayu yang sudah sejak tadi ingin dipacakkan. K0ntolku agak susah untuk menemukan gerbang vaginanya, karena berkali-kali meleset. Aku kemudian mengambil posisi duduk bersimpuh sehingga bisa melihat arah k0ntol dan gerbang vaginanya.

Setelah tepat di depan Vagina, kepala k0ntolku bisa masuk perlahan-lahan. Retno minta aku pelan-pelan karena mekinya perih. Aku bertindak hati-hati dan melakukan gerakan maju mundur pelan dan pendek, sampai mekinya terbiasa menerima kehadiran k0ntolku. Aku tidak ingin menimbulkan trauma menakutkan pada saat pecah dara ini.

Setelah gerakanku lancar maju mundur dan rasanya juga sudah agak dalam karena seluruh kepala k0ntolku sudah tercelup, masih terhalang oleh selaput daranya . Jika aku tekan, dia akan menarik pantatnya menjauh. Keluhan perih dan sakit berkali-kali dirintihkan. K0ntol kupertahankan mentok di selaput dara. Aku menciumi mulutnya dengan ganas. Sementara itu di bawa sana, k0ntolku berkali-kali aku tegangkan (senam kegel).

Kosentrasi Retno terpecah antara rasa sakit dan nikmatnya berciuman serta remasan di dadanya. Melalui gerakan mengencang dan mengendurkan k0ntolku sambil aku tekan ke dalam perlahan-lahan terasa, ada sedikit kemajuan.

Selaput daranya bisa aku terobos sepenuhnya ketika aku kencangkan k0ntolku dan menguak selaput daranya. Dia berteriak dalam kuluman mulutku. Setelah benteng itu aku dobrak, k0ntolku bisa maju perlahan-lahan tanpa hambatan berarti. Itu pun tidak langsung aku benamkan tetapi, melalui gerakan pelan maju mundur sedikit, maju lebih banyak begitu berkali-kali.

Jepitan mekinya sangat ketat, wajar saja kalau dia merasa sakit, karena dinding vaginanya seperti menyatu dan harus dikuak perlahan-lahan. K0ntolku akhirnya bisa tertancap seluruhnya. Untuk meyakinkan, aku meraba sisa batang yang tinggal. Memang tidak ada lagi sisa. Dalam posisi terbenam itu aku melakukan gerakan kegel berkali-kali. Setiap kali ku keraskan k0ntolku, Retno mengernyitkan alisnya menandakan ada rasa sakit. Setelah dia tidak merespon gerakan kegelku baru aku mulai memompa perlahan-lahan.

Menghadapi meki yang masih perawan ini aku sulit bertahan lama, meskipun malam sebelumnya aku baru menafkahi batin istri tua. Spermaku lepas ke dalam dasar mekinya. Retno menanyakan kenapa rasanya mekinya kesiram air hangat. Aku jelaskan bahwa aku menyemprotkan sperma ke dalam mulut rahimnya.

Aku rendam k0ntolku sampai akhirnya menyusut dan keluar sendiri dari meki. Air maniku meleleh dari celah mekinya kelihatan pula berwarna merah muda. Darah perawannya tercampur mani dan cairan vaginanya. Dibawah pantatnya sudah aku siapkan handuk kecil untuk mengalas lelehan air mani. Batang k0ntolku yang baru keluar dari sekapan meki juga terlihat ada darah sedikit.

Retno mengeluh mekinya masih terasa perih, serta rasanya masih ada bekas k0ntolku di dalamnya. Mungkin bekas jalan masuk k0ntolku di mekinya masih belum terkatup kembali sehingga dia merasa seolah batangku masih mengganjal.

Aku bimbing dia ke kamar mandi untuk membersihkan sisa-sisa cairan bersetubuh. Retno jalannya tidak normal, karena selangkangannya terasa perih. Ketika dicuci terkena air, mekinya masih terasa perih. Meski begitu dia mengakui bahwa saat penetrasi dan k0ntolku maju mundur tadi terasa juga nikmatnya.

“ Jadi bingunglah ada sakit ada enaknya juga,” kata Retno.

Kami berdua istrihat dengan tidur berpelukan dalam selimut, dia berkali-kali mengatakan sayang ayah. Aku hanya mengelus-elus rambutnya sampai akhirnya aku tertidur. Bangun tidur kami mandi 
air hangat berdua.

Aku dan Retno kembali mengenakan pakaian karena kami akan mengunjungi unit apartemen si Ning. Begitu pintu terbuka, Ning langsung melompat memelukku dengan posisi dia aku gendong. Diciuminya seluruh mukaku,

“Aku kangen ayah, katanya tanpa mempedulikan Retno yang berdiri di sampingku.

Mungkin berat bagi perasaan wanita melihat kenyataan ini, pasangan yang disayangi dipeluk- cium oleh perempuan lain. Tapi Retno kelihatannya sudah siap dengan kenyataan ini, sehingga dia dingin saja melihat sambutan Ning.

“Barusan belah duren ya,” kata Ning

“Ih teeh Ning malu ah,” kata si Retno.

Kami berkelakar bertiga. Aku berusaha memberi perhatian yang sama kepada kedua istri-istriku. Ning meski lebih muda, tetapi pengalaman sexnya sudah mumpuni. Tapi dasar si Ning gila batang dia tidak peduli dengan kehadiran Retno. 

Aku diciuminya dan k0ntolku remas-remas. Aku biarkan saja ketika tangannya membuka celanaku. Dia berusaha mengeluarkan k0ntolku dari sarangnya tanpa membuka semua celanaku. Sesaat kemudian dia sudah mengulum k0ntolku dengan gairah tinggi. K0ntolku belum terlalu keras, karena habis bertempur. Retno agak jengah melihat kelakuan Ning. Aku menangkap isyarat itu, maka kutarik ke dalam pelukanku. Aku cium bibirnya. Pada awalnya dia tidak merespon, alias diam saja. Namun mungkin birahinya bangkit, apalagi tanganku meremas-remas teteknya dari luar bajunya.

Aku berusaha memasukkan tangan ke dalam bajunya dan membuka pengait BH, agar tanganku bisa langsung menyentuh payudaranya. Pentil adalah salah satu kelemahan Retno, sehingga dia jadi lupa diri setelah pentilnya aku pelintir-pelintir. Dia mulai mengerang lemah. Agak susah mulutku mencapai teteknya untuk menhisap pentilnya. Retno paham keinginanku dia menyelak bajunya dan memberi susunya untuk aku kenyot. /sementara itu k0ntolku di bawah sana makin keras akibat dikerjai si Ning.

Tanganku meraba selangkang Retno dan langsung masuk ke dalam celana dalamnya. Belahan mekinya sudah berlendir licin. Aku jadi lega, karena dia sudah terangsang. Aku mengguit-guit itilnya.
Sementara itu si Ning sudah berhasil melepas celanaku dan dia tanpa rasa malu, duduk diatas k0ntolku dan memasukkan ke mekinya. Entah kapan dia sudah melepas semua pakaiannya sehingga bugil. Sambil telanjang dia menggenjot k0ntolku yang sedang imum, meskipun tegang. Sedangkan si Retno duduk berselonjor menikmati permainan jariku di itilnya. Si Ning menjerit-jerit sambil main kuda-kudaan, sedangkan Retno merintih nikmat karena itilnya dipermainkan.

Tidak lama kemudian, Ning mengerang keras, karena mencapai orgasme dan ambruk ke dadaku. Retno sudah pada tingkat menjelang orgasme sampai akhirnya badannya berjingkat-jingkat menikmati kepuasan puncaknya. Aku membimbing keduanya ke bed besar, dan si Retno kulucuti semua bajunya.

Aku lalu merangkak diantara paha Retno lalu membenamkan k0ntolku perlahan-lahan. Retno masih mengernyitkan alisnya pertanda masih ada rasa sakit. Namun gerakan genjotanku berikutnya dia sudah mulai merintih perlahan-lahan. Aku sudah paham letak G-spotnya sehingga aku mengusahakan agar k0ntolku menggerus g-spotnya. Badannya terlunjak-lunjak saat k0ntolku mengerus, G-spotnya. Dia sudah melupakan rasa sakit. Sekarang sedang menghadapi gelombang besar orgasmenya. Kedua kakinya tiba-tiba merangkul badanku sehingga aku tidak bisa bergerak. K0ntolku seperti dipijat-pijat oleh vaginanya ketika dia mencapai orgasme. Terasa panjang betul denyut orgasmenya dan teriakan si Retno juga keras sekali, tetapi seperti orang menangis.

Aku duga dia mencapai orgasme yang tertinggi. Dia kemudian melemaskan badannya dan matanya terkatup rapat. Aku memberi hadiah ciuman hangat sekitar satu menit. Aku dipeluknya erat.
Ning yang melihat Retno mencapai orgasme dengan teriakan kencang, jadi terdorong untuk mengajakku berkayuh di mekinya. K0ntolku masih cukup perkasa, dan gelombang orgasmeku rasanya masih jauh. Permintaan Ning aku penuhi dan aku genjot dengan posisi gerusan di G spotnya. Ning sekarang yang meraung-raung seperti orang lupa diri.

Retno menonton pertunjukan kami, aku jadi terangsang karena ditonton dan juga raungan si Ning, jadi makin syur rasanya sehingga akhirnya tercapai juga orgasmeku. Pada saat kusemprot spermaku yang tidak seberapa, Ning berteriak, karena dia rupanya mendapat orgasmenya juga. Badanku dipeluknya erat dan aku merasa gelombang panjang berkali-kali memijat k0ntolku.

Sejak saat itu tidak ada lagi rahasia antara kami bertiga. Orgy selalu kami lakukan baik di unit Ning maupun di unit apartemen Retno. Mereka lama-lama menuntut agar tinggal di satu unit apartemen saja. Karena dengan demikian bisa selalu bersama sepanjang waktu. Aku menemukan apartemen seperti yang mereka minta, dan kamar utama ditempati si Ning, kamar kedua menjadi kamar Retno. Meski begitu mereka selalu tidur bersama.

Tanpa terasa sudah setahun berlalu. Aku mengajak bertemu temanku Budi. Dia berkeluh- kesah mengenai beratnya melayani keinginan sex istri-istrinya, kalau soal biaya tidak pernah menjadi masalah. Praktis ada 4 istri yang harus dipenuhi nafkah batinnya. Dia minta saranku, bagaimana cara mengatasinya.

Kendalanya adalah dalam sebulan Budi hanya ada sekitar 20 hari, bahkan kadang-kadang hanya setengah bulan. Dalam kurun waktu itu harus 4 istri yang diberi perhatian dan digilir sexnya. Jika dulu dia mengenluh nafsu sexnya banyak tidak tersalur, sekarang keluhan itu malah sebaliknya. Di minta saran aku. Untuk menceraikan beberapa istrinya, Budi merasa kasihan dan tidak tega, karena mereka semua sangat menyayanginya.

Aku menyarankan agar setiap istri diberi kesibukan kerja, sehingga pikiran mereka tidak terfokus pada suami saja. Istriku Ning sekarang sudah enjoy dengan salon kecantikannya sedangkan Retno asyik dengan usaha travel.

Saran itu diikuti Budi, Semua istri-istrinya diberi usaha. Dia memberi masing-masing istrinya sebuah minimarket yang dibeli dengan sistem waralaba. Dari hasil waralaba itu, istrinya dibebaskan membuka usaha lain yang disukainya. Setelah itu mereka sibuk dengan masing-masing urusannya sehingga Budi bercerita dia hanya menggilir istrinya sebulan sekali. Pergaulan dengan para istrinya bukan terfokus pada sex tetapi sudah beralih pada masalah bisnis.

Bagaiman Dengan Cerita Dewasa Belanja Cari Istri ? Seru bukan ? Dan jangan lupa untuk di simak Cerita Dewasa lainnya Seperti di bawah ini :

Artikel Terkait

Cerita Dewasa Belanja Cari Istri
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email